Senin, 19 Maret 2012

Makalah TMPAI Kelas VIII semester 1 dan 2


MAKALAH

TELAAH  MATERI  PAI  KELAS  VIII  SMP  NEGERI  3  WARUNGASEM



Disusun Guna Memenuhi Tugas:
      Mata Kuliah                      : Telaah Materi PAI
      Dosen Pengampu             : Nur khasanah M.Ag.

                  





STAIN logo
 










Disusun Oleh  :
1.       Ismaroh                            2021110142
2.       M. Saiful Amri                 2021110155
3.       Nisaul Muslimah             2021110151
4.        Indah Yuniarti                 2021110166





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2011




PEMBAHASAN

A.     Materi pembahasan SMP Negeri 3 Semester 1 dan 2.
    
1.      Al-Qur’an
a.       Bacaan Qalqalah dan Ra’
2.      Aqidah
a.       Iman kepada kitab-kitab Allah
3.      Akhlak
a.       Zuhud dan Tawakal
b.      Ananiah,Ghadhab,Hasad,Ghibah, dan Namimah
4.      Fiqih
a.       Shalat Sunnah Rawatib
b.      Sujud Syukur,Sahwi dan Tilawah
c.       Puasa Wajib dan Sunnah
d.      Zakat Fitrah dan Mal
5.      Tarikh dan Kebudayaan Islam
a.       Sejarah Nabi Muhammad SAW
6.      Al-Qur’an
a.       Mad dan Waqaf
7.      Aqidah
a.       Iman kepada Rasul Allah
8.      Akhlak
a.       Adab Makan dan Minum
b.      Dendam dan Munafik
9.      Fiqih
a.       Hewan yang Halal dan Haram Dimakan
10.  Tarikh dan Kebudayaan
a.       Sejarah Pertumbuhan Ilmu dalam Islam


B.      Telaah Materi

a.       Kegiatan pembelajaran
Dalam kegiatan pembelajaran siswa perlu mendapatkan bimbingan langsung dari guru karena siswa akan mengalami kesulitan ketika siswa dibiarkan membaca dan menelaah berbagai literatur sendiri tanpa adanya bimbingan dari guru. Dengan mendapatkan bimbingan langsung dari gurunya maka siswa tidak perlu bertanya kepada Para Tokoh Agama atau lainnya dalam mendapatkan dan memahami materi. Jika siswa memang ingin bertanya kepada Para Tokoh Agama ataupun yang lainnya hanya untuk pengembangan materi.
b.      Indikator
        Untuk Indikator, kami anggap sudah cukup dan sesuai untuk kegiatan pembelajaran sehingga tidak perlu ada tambahan lagi.
c.       Penilaian
        Untuk Teknik Penilaian,bentuk instrumen dan contoh instrumen kami anggap sudah cukup dan sesuai untuk kegiatan pembelajaran sehingga tidak perlu ada tambahan lagi.
d.      Alokasi Waktu
        Untuk Alokasi Waktu Materi Sejarah Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan dalam Islam yaitu 6 x 40 menit atau 6 jam pelajaran menurut kami harusnya dikurangi saja menjadi 4 x 40 menit atau 4 jam pelajaran karena ditakutkan siswa terlalu bosan materi sejarah yang lebih banyak menggunakan metode ceramah.




e.       Urutan Pembelajaran Materi
        Menurut kami untuk materi fiqih sebaiknya diletakkan paling akhir setelah materi tarikh dan kebudayaan Islam sehingga urutan materi PAI menurut kami adalah Al-Qur’an,Aqidah,Akhlak,Tarikh dan Kebudayaan Islam, Fiqih. Karena menurut kami materi fiqih adalah materi paling kompleks daripada materi yang lainnya.

C.     Kesimpulan

  Dari beberapaa telaah yang kami lakukan. Kami melakukan perubahan-perubahan pada beberapa bagian seperti: pada Kegiatan Pembelajaran guru diharapkan lebih memberikan bimbingan dalam memberikan materi; pengurangan alokasi waktu untuk materi Sejarah Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan dalam Islam dari 6 jam pelajarn menjadi 4 jam pelajaran; serta merubah urutan materi menjadi Al-Qur’an,Aqidah,Akhlak,Tarikh dan Kebudayaan Islam, Fiqih.








Makalah Fiqih Nafkah


NAFKAH


Disusun Guna Memenuhi Tugas
                                    Mata Kuliah                : Fiqih III
                                    Dosen Pengampu        : Agus Khumaedy, M.Ag












Oleh Kelas D:
1.      M.Saiful Amri       (2021110155)



JURUSAN TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN 2011/2012



BAB I

PENDAHULUAN
            Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi, seperti nafkah dibahas dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah) Al-Qur’an yang tidak memberikan ketentuan yang jelas dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri baik berupa batas maksimal maupun batas minimal. Tidak adanya ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran nafkah secara pasti, justru menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah.



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengetian Nafkah
Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan (انفق- ينفق- انفاقا)[1] . Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan “ pembelanjaan[2]. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran.[3]
Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi : “Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya” .
Defenisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut :
Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal[4]. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
B.     Dasar Hukum Nafkah
Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah, kesepakatan para imam madzhab maupun UU yang ada di Indonesia, diantaranya adalah:
1.       Surat Ath-Thalaq ayat 6-7
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (7)
Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin utuk menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir kandungan mereka. Jika mereka menyusukan untukmu (anakmu) berilah upah (imbalannya). Bermusyawarahlah kamu dengan sebaik-baiknya.Tetapi jika kamu kepayahan hendaklah (carilah) perempuan lain yang akan menyusukannnya”(6) “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) rezkinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”(7)[5]

Dalam ayat dapat kita pahami bahwa:
a.       Suami wajib memberikan istri tempat berteduh dan nafkah lainnya.
b.      Istri harus mengikuti suami dan bertempat tinggal di tempat suami. Besarnya kewajiaban nafkah tergantung pada keleluasaan suami. Jadi pemberian nafkah berdasarkan atas kesanggupan suami bukan permintaan istri.[6]
Al-Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah (لينفق) maksudnya adalah; hendaklah suami memberi nafkah kepada isterinya, atau anaknya yang masih kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang yang tidak berkecukupan. Jadi ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan  لينفق ذو سعة من سعته  adalah bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap isteri. Adapun maksud ayatلا يكلف الله نفسا الا مأ تا ها  adalah bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam memberi nafkah.[7]
2.        Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A
عَنْ عَائِشَةَ قَالَت دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيك
“Dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.” (HR.Muslim)[8]
            Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran tertentu Rasulullah SAW. akan memerintahkan Hindun untuk mengambil ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik dan secukupnya. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid mengemukakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan.[9]
3.       Kesepakatan Imam Madzhab
Empat Imam Fiqih madzhab sepekat menetapkan bahwa hukum memberikan nafkah keluarga adalah wajib bagi suami. Ketetpan ini bisa kit baca dalam kitab fiqih, antara lain dalam kitab Rahmatul Ummah Fikhtilafil A’immah  Juz II halaman 91
Para Imam yang empat sepakat menetapkan wajibnya suami memberikan nafkah bagi anggota keluarga yang dikepalainya, seperti orang tua, istri dan anak yang masih kecil”
            Kalimat yang sama juga disebutkan dalam kitab Mizanul Kubra Juz II halaman 138. Keduamya sama-sama mencontohkan bahwa anggota keluarga tidak sekedar istri, melainkan juga anak yang masih kecil (belum mampu mencari nafkah sendiri) dan orang tua (yang sudah tidak mampu mencari nafkah lagi). Hal ini lebih menegaskan bahwa semua orang yang ada di dalam kekuasaan suami, termasuk pembantu ataupun buadk, adalah anggota yang nafkahnya menjadi tanggungan suami.
Sebagai kewajiban, maka setiap suami muslim harus mencukupi nafkah keluarga itu sesuai dengan kemampuannya. Jika dia menjalankannya dengan baik, maka Allah akan memberikan pahala. Dan jika dia meninggalkan atau melalaikannya maka dia berdosa dan akan mendapat siksa dari Allah .[10]
4.       Undang-undang yang ada di Indonesia
Mengenai nafkah sudah tercantum dalam Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 34 ayat 1 sampai 3 yang berbunyi:
1)      Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2)      Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3)      Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.[11]
C.     Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dibagi menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir yang bersifat materi seperti sandang,pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah batin yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain.[12]  

Menurut objeknya, Nafkah ada dua macam yaitu:
ü    Nafkah untuk diri sendiri. Agama Islam mengajarkan agar nafkah untuk diri sendiri didahulukan daripada nafkah untuk orang lain. Diri sendiri tidak dibenarkan menderita, karena mengutamakan orang lain.
ü    Nafkah untuk orang lain karena hubungan perkawinan dan hubungan kekerabatan. Setelah akad nikah, maka suami wajib memberi nafkah kepada istrinya paling tidak kebutuhan pokok sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan.[13]
D.    Kadar Nafkah
Kadar Nafkah yang paling ideal diberikan oleh para suami kepada segenap keluarganya adalah cukup, Tetapi, ketentuan cukup ini sangat bervariasi dan relatif apalagi jika dilihat dari selera pihak yang diberi yang notabene manusia itu sendiri memilliki sifat dasar tidak pernah merasa cukup.
Kaitannya dengan kadar nafkah keluarga, Islam tidak mengajarkan untuk memberatkan para suami dan juga tidak mengajarkan kepada anggota keluarga untuk gemar menuntut. Sehungga kadar cukup itu bukan ditentukan dari pihak keluarga yang diberi, melainkan dari pihak suami yang memberi. Kecukupan disesuikan dengan kemampuan suami, tidak berlebihan dan tidak terlalu kikir.[14]

E.     Syarat-syarat Wajib Nafkah
Perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Artinya istri berhak mendapatkan nafkah sesuai dengan ketentuan ayat dan hadis sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad nikah istri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat ketika membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi akad atau ketika istri telah pindah ke tempat kediaman suami.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hanabilah mengungkapkan bahwa istri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan setelah tamkin, seperti istri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara itu sebagian ulama muta’akhirin menyatakan bahwa istri baru berhak mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang istri berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak menjelaskan secara khusus syarat-syarat wajib nafkah istri. Oleh karena itu tidak ada ketentuan secara khusus dari nabi SAW mengenai hal tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan syarat-syarat wajibnya seseorang istri mendapatkan nafkah.
[15]
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah istrinya apabila: Istri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan senggama; Istri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak melakukan hubungan senggama, perkawinan suami istri itu telah memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan; Tidak hilang hak suami untuk menahan istri disebabkan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat wajib nafkah istri setelah dan belum disenggamai. Syarat nafkah sebelum disenggamai adalah :
Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai. Apabila suami mengajak istrinya melakukan hubungan suami isteri namun istri menolak, maka
a.       istri tidak layak untuk menerima nafkah.
b.      Istri layak untuk disenggamai. Apabila istri belum layak disenggamai seperti masih kecil maka ia berhak menerima nafkah.
c.       Suami itu seorang laki-laki yang telah baligh. Jika suami belum baligh sehinggga belum mampu melakukan hubungan suami istri secara sempurna maka ia tidak wajib membayar nafkah.
d.      Salah seorang suami atau istri tidak dalam keadaan sakratul maut ketika akan diajak bersenggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi istri yang telah disenggamai adalah pertama : Suami itu mampu. Apabila suami tidak mampu maka selama ia tidak mampu maka ia tidak wajib membayar nafkah istrinya. Kedua : Istri tidak menghilangkan hak suami untuk menahan istri dengan alasan kesibukan istri yang dibolehkan agama.[16]
F.      Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi akad perkawinan yang sah suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah isteri hanya didapat apabila syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti diuraikan diatas telah terpenuhi, serta isteri terhindar dari hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah tersebut.
Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Nusyuz
Kata nusyuz merupakan bentuk jamak ( plural ) dari nusyz yang secara etimologi berarti dataran tanah yang lebih tinggi atau tanah bukit[17], sesuai dengan pengertian ini, maka wanita yang nusyuz menurut pengertian bahasa berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami. Dari pengertian ini pula selanjutnya dipahami pengertian nusyuz secara umum yaitu sikap angkuh, tidak patuh seseorang dengan tidak bersedia menunjukkan loyalitas kepada pihak yang wajib dipatuhinya Kata nusyuz secara resmi telah dipakai dalam tata bahasa Indonesia yang secara terminologi berarti : perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang dibenarkan hukum (Islam).[18]
b.      Wafat salah seorang suami istri.
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka istri tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika istri yang meninggal dunia terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya.[19]
c.       Murtad
Apabila seorang istri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya istri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan senggama dengan istri tersebut. Jika suami yang murtad, maka hak nafkah istri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa melakukannya.
d.      Talak
Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah habis masa iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas istrinya. Hal ini bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami.[20]


   



ü   
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik dan halal. Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam Al-Qur’an salah satunya  Surat Ath-Thalaq ayat 6-7; Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dan dibukukan di Shahih Muslim ; kesepakatan para imam madzhab dalam kitab Rahmatul Ummah Fikhtilafil A’immah  Juz II halaman 91 dan dalam kitab Mizanul Kubra Juz II halaman 138; maupun UU yang ada di Indonesia yaitu Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 34 ayat 1 sampai 3.
Macam-macam nafkah dibedakan berdasarkan bentuk dan objeknya. Kadar dari nafkah yang diberikan adalah cukup yaitu sesuai kemampuan suami, tidak berlebihan dan tiadak kikir.
Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang istri berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak menjelaskan secara khusus syarat-syarat wajib nafkah istri. Oleh karena itu tidak ada ketentuan secara khusus dari nabi SAW mengenai hal tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan syarat-syarat wajibnya seseorang istri mendapatkan nafkah.
Hal-hal yang bisa menggugurkan hak nafkah antara lain: Nusyuz, Salah satu dari suami atau istri wafat, Murtad dan Talak.



DAFTAR PUSTAKA

Ø  Al- Munjid fi Al – Lughat wa Al-i`lam , (Beirut:al-Maktabah al – Syirkiyah , 1986)
Ø  Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al Munawwir, (Yogyakarta:Pondok Pesantren al – Munawwir, 1984)
Ø  Departemen Pendidikan Nasional ,Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta, Balai Pustaka, 2002)
Ø  RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya ,
Ø  Hakim, Rahmat. Hukum Pernikahan Islam,  (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Ø  Al-Qurthubi, Muhammad. Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, (Beirut: Dar-al-Ihya li Tirkah al-Arabi, 1985)
Ø  Muslim, Imam. Shohih Muslim. Juz 9
Ø  Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid, Penerjemah; M.A. Abdurrahman, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990)
Ø  Halim, M.Nipan Abdul. Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002)
Ø  Hasan, M. Ali. Pedoman Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006)
Ø  Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Suriah : Dar al-Fikr bi Damsyiq, 2002)
Ø  Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi. Juz IV (Semarang:PT. Karya Toha Putra,1993)


[1]  Al- Munjid fi Al – Lughat wa Al-i`lam , (Beirut:al-Maktabah al – Syirkiyah , 1986), hal 828
[2]  Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawwir,(Yogyakarta:Pondok Pesantren al – Munawwir, 1984), hal 1548
[3] Diknas ,Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta, Balai Pustaka, 2002), Edisi ketiga, hal 770.
[4] http://kamusfiqih.wordpress.com
[5] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Hal. 946
[6]  Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pernikahan Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hal.101
[7] Muhammad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (Beirut: Dar-al-Ihya li Tirkah al-Arabi, 1985), Juz XVIII, h. 170
[8]  Imam Muslim, Shohih Muslim. Juz 9 hal.105
[9] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Penerjemah; M.A. Abdurrahman, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), hal. 462
[10] M.Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002) hal.144-145
[11] Drs. H. Rahmat Hakim, Op.Cit, hal. 239-240
[12] M.Nipan Abdul Halim, Op.Cit, hal. 156-159
[13] M. Ali Hasan, Pedoman Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006)
[14] M.Nipan Abdul Halim, Op.Cit, hal. 160-161
[15] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Suriah : Dar al-Fikr bi Damsyiq, 2002), Juz. 10 hal. 7374-7375
[16]  Ibid Hal. 7376-7377
[17] Al-Munjid, Op.Cit,hal. 809
[18] Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit. ,hal 789
[19] Wahbah al- Zuhaili, Op.Cit, hal . 7363
[20]  Ibid Hal.7366