NAFKAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih III
Dosen
Pengampu : Agus Khumaedy, M.Ag
1.
M.Saiful Amri (2021110155)
JURUSAN
TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN 2011/2012
BAB I
PENDAHULUAN
Perbincangan
mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi, seperti nafkah dibahas
dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah)
Al-Qur’an yang tidak memberikan ketentuan yang jelas dan pasti mengenai berapa
besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri baik berupa batas maksimal
maupun batas minimal. Tidak adanya ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran
nafkah secara pasti, justru menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam
menetapkan aturan nafkah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian Nafkah
Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab
yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan (انفق-
ينفق- انفاقا) .
Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan “
pembelanjaan. Dalam
tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti
pengeluaran.
Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu
dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi
terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung
jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan
oleh al- Syarkawi : “Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi
tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak
dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya” .
Defenisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas
belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut :
“Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa
makanan, pakaian dan tempat tinggal”. Mencermati
beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah
itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang
yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan,
sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
B.
Dasar Hukum
Nafkah
Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban
nafkah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah, kesepakatan
para imam madzhab maupun UU yang ada di Indonesia, diantaranya adalah:
1.
Surat Ath-Thalaq ayat 6-7
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا
تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ
فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ
فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ
عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (7)
“
Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin utuk menyempitkan mereka.
Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir kandungan mereka. Jika
mereka menyusukan untukmu (anakmu) berilah upah (imbalannya). Bermusyawarahlah
kamu dengan sebaik-baiknya.Tetapi jika kamu kepayahan hendaklah (carilah)
perempuan lain yang akan menyusukannnya”(6) “Hendaklah orang yang mampu memberi
nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) rezkinya
hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya,
Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang
diberikan Allah. Semoga Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”(7)
Dalam ayat dapat kita
pahami bahwa:
a. Suami wajib memberikan istri tempat berteduh dan
nafkah lainnya.
b. Istri harus mengikuti suami dan bertempat tinggal di
tempat suami. Besarnya kewajiaban nafkah tergantung pada keleluasaan suami.
Jadi pemberian nafkah berdasarkan atas kesanggupan suami bukan permintaan
istri.
Al-Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah (لينفق)
maksudnya adalah; hendaklah suami memberi nafkah kepada isterinya, atau anaknya
yang masih kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau
menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang yang tidak berkecukupan. Jadi
ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan
kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat.
Sedangkan yang dimaksud dengan لينفق ذو سعة من سعته adalah
bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap
isteri. Adapun maksud ayatلا يكلف الله نفسا الا مأ
تا ها adalah
bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam
memberi nafkah.
2.
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A
عَنْ عَائِشَةَ قَالَت
دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا
سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي
وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ
مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي
مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيك
“Dari
Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap
Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah
seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk
saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa
setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw.
bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik
secukupnya untukmu dan anak-anakmu.” (HR.Muslim)
Hadis tersebut jelas menyatakan
bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan
ukuran tertentu Rasulullah SAW. akan memerintahkan Hindun untuk mengambil
ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya
memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik
dan secukupnya. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid
mengemukakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini
bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan
keadaan masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan
perbedaan tempat, waktu dan keadaan.
3.
Kesepakatan Imam Madzhab
Empat Imam Fiqih madzhab sepekat menetapkan bahwa
hukum memberikan nafkah keluarga adalah wajib bagi suami. Ketetpan ini bisa kit
baca dalam kitab fiqih, antara lain dalam kitab Rahmatul Ummah Fikhtilafil
A’immah Juz II halaman 91
“Para
Imam yang empat sepakat menetapkan wajibnya suami memberikan nafkah bagi
anggota keluarga yang dikepalainya, seperti orang tua, istri dan anak yang
masih kecil”
Kalimat yang sama juga disebutkan
dalam kitab Mizanul Kubra Juz II halaman 138. Keduamya sama-sama
mencontohkan bahwa anggota keluarga tidak sekedar istri, melainkan juga anak
yang masih kecil (belum mampu mencari nafkah sendiri) dan orang tua (yang sudah
tidak mampu mencari nafkah lagi). Hal ini lebih menegaskan bahwa semua orang
yang ada di dalam kekuasaan suami, termasuk pembantu ataupun buadk, adalah
anggota yang nafkahnya menjadi tanggungan suami.
Sebagai kewajiban, maka setiap suami muslim harus
mencukupi nafkah keluarga itu sesuai dengan kemampuannya. Jika dia
menjalankannya dengan baik, maka Allah akan memberikan pahala. Dan jika dia
meninggalkan atau melalaikannya maka dia berdosa dan akan mendapat siksa dari
Allah .
4.
Undang-undang yang ada di Indonesia
Mengenai nafkah sudah tercantum dalam Undang-undang
RI nomor 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 34
ayat 1 sampai 3 yang berbunyi:
1)
Suami wajib melindungi istrinya dan
memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2)
Istri wajib mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya.
3)
Jika suami atau istri melalaikan
kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
C.
Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dibagi menjadi dua yaitu Pertama,
nafkah lahir yang bersifat materi seperti sandang,pangan, papan dan biaya hidup
lainnya termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah batin yang bersifat
non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain.
Menurut objeknya, Nafkah
ada dua macam yaitu:
ü
Nafkah untuk
diri sendiri. Agama Islam mengajarkan agar nafkah untuk diri sendiri
didahulukan daripada nafkah untuk orang lain. Diri sendiri tidak dibenarkan
menderita, karena mengutamakan orang lain.
ü
Nafkah untuk
orang lain karena hubungan perkawinan dan hubungan kekerabatan. Setelah akad nikah,
maka suami wajib memberi nafkah kepada istrinya paling tidak kebutuhan pokok
sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan.
D. Kadar Nafkah
Kadar Nafkah yang paling
ideal diberikan oleh para suami kepada segenap keluarganya adalah cukup,
Tetapi, ketentuan cukup ini sangat bervariasi dan relatif apalagi jika dilihat
dari selera pihak yang diberi yang notabene manusia itu sendiri memilliki sifat
dasar tidak pernah merasa cukup.
Kaitannya dengan kadar
nafkah keluarga, Islam tidak mengajarkan untuk memberatkan para suami dan juga
tidak mengajarkan kepada anggota keluarga untuk gemar menuntut. Sehungga kadar
cukup itu bukan ditentukan dari pihak keluarga yang diberi, melainkan dari pihak
suami yang memberi. Kecukupan disesuikan dengan kemampuan suami, tidak
berlebihan dan tidak terlalu kikir.
E. Syarat-syarat Wajib Nafkah
Perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat
menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Artinya istri berhak mendapatkan
nafkah sesuai dengan ketentuan ayat dan hadis sebagaimana telah penulis
kemukakan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad nikah
istri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat ketika
membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi akad atau ketika istri telah
pindah ke tempat kediaman suami.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hanabilah
mengungkapkan bahwa istri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan setelah
tamkin, seperti istri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara itu
sebagian ulama muta’akhirin menyatakan bahwa istri baru berhak mendapatkan hak
nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal
kapankah seorang istri berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan
hadis tidak menjelaskan secara khusus syarat-syarat wajib nafkah istri. Oleh
karena itu tidak ada ketentuan secara khusus dari nabi SAW mengenai hal
tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam
menetapkan syarat-syarat wajibnya seseorang istri mendapatkan nafkah.
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah
istrinya apabila: Istri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum
melakukan senggama; Istri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah
layak melakukan hubungan senggama, perkawinan suami istri itu telah memenuhi
syarat dan rukun dalam perkawinan; Tidak hilang hak suami untuk menahan istri
disebabkan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat wajib nafkah istri setelah
dan belum disenggamai. Syarat nafkah sebelum disenggamai adalah :
Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai. Apabila suami mengajak istrinya
melakukan hubungan suami isteri namun istri menolak, maka
a.
istri tidak layak untuk menerima nafkah.
b. Istri
layak untuk disenggamai. Apabila istri belum layak disenggamai seperti masih
kecil maka ia berhak menerima nafkah.
c. Suami
itu seorang laki-laki yang telah baligh. Jika suami belum baligh sehinggga
belum mampu melakukan hubungan suami istri secara sempurna maka ia tidak wajib
membayar nafkah.
d. Salah
seorang suami atau istri tidak dalam keadaan sakratul maut ketika akan diajak bersenggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi istri yang
telah disenggamai adalah pertama : Suami itu mampu. Apabila suami tidak mampu
maka selama ia tidak mampu maka ia tidak wajib membayar nafkah istrinya. Kedua
: Istri tidak menghilangkan hak suami untuk menahan istri dengan alasan
kesibukan istri yang dibolehkan agama.
F. Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi akad perkawinan yang sah suami
berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah isteri
hanya didapat apabila syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti diuraikan
diatas telah terpenuhi, serta isteri terhindar dari hal-hal yang menyebabkan
gugurnya hak nafkah tersebut.
Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah berikut ini
akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri.
Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Nusyuz
Kata nusyuz merupakan bentuk jamak ( plural ) dari
nusyz yang secara etimologi berarti dataran tanah yang lebih tinggi atau tanah
bukit,
sesuai dengan pengertian ini, maka wanita yang nusyuz menurut pengertian bahasa
berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga tidak mau
terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami. Dari pengertian ini pula
selanjutnya dipahami pengertian nusyuz secara umum yaitu sikap angkuh, tidak
patuh seseorang dengan tidak bersedia menunjukkan loyalitas kepada pihak yang
wajib dipatuhinya Kata nusyuz secara resmi telah dipakai dalam tata bahasa
Indonesia yang secara terminologi berarti : perbuatan tidak taat dan
membangkang seorang istri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang dibenarkan
hukum (Islam).
b.
Wafat salah seorang suami istri.
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami,
kalau suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka istri tidak dapat
mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika istri yang meninggal dunia
terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta
suaminya.
c.
Murtad
Apabila seorang istri murtad maka gugur hak nafkahnya
karena dengan keluarnya istri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami
melakukan senggama dengan istri tersebut. Jika suami yang murtad, maka hak
nafkah istri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan
timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan hukum
tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa melakukannya.
d.
Talak
Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri
hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah habis masa iddah
tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa suami masih tetap berkewajiban
memberi nafkah bekas istrinya. Hal ini bisa dipahami kenapa setelah habisnya
masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami.
ü
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Nafkah
adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang
menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan,
sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik dan halal. Adapun
dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam Al-Qur’an
salah satunya Surat Ath-Thalaq ayat 6-7;
Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dan dibukukan di Shahih Muslim ;
kesepakatan para imam madzhab dalam kitab Rahmatul Ummah Fikhtilafil A’immah Juz II halaman 91 dan dalam kitab Mizanul
Kubra Juz II halaman 138; maupun UU yang ada di Indonesia yaitu Undang-undang
RI nomor 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 34
ayat 1 sampai 3.
Macam-macam
nafkah dibedakan berdasarkan bentuk dan objeknya. Kadar dari nafkah yang
diberikan adalah cukup yaitu sesuai kemampuan suami, tidak berlebihan dan
tiadak kikir.
Terjadinya
perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang istri berhak atas nafkah
dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak menjelaskan secara khusus
syarat-syarat wajib nafkah istri. Oleh karena itu tidak ada ketentuan secara
khusus dari nabi SAW mengenai hal tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat
perbedaan pendapat dalam menetapkan syarat-syarat wajibnya seseorang istri
mendapatkan nafkah.
Hal-hal
yang bisa menggugurkan hak nafkah antara lain: Nusyuz, Salah satu dari suami
atau istri wafat, Murtad dan Talak.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Al-
Munjid fi Al – Lughat wa Al-i`lam , (Beirut:al-Maktabah
al – Syirkiyah , 1986)
Ø Munawir,
Ahmad Warson. Kamus Al Munawwir, (Yogyakarta:Pondok Pesantren al –
Munawwir, 1984)
Ø Departemen
Pendidikan Nasional ,Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta, Balai
Pustaka, 2002)
Ø RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya ,
Ø Hakim,
Rahmat. Hukum Pernikahan Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2000)
Ø Al-Qurthubi,
Muhammad. Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, (Beirut: Dar-al-Ihya li Tirkah
al-Arabi, 1985)
Ø Muslim,
Imam. Shohih Muslim. Juz 9
Ø Rusyd,
Ibnu. Bidayah al-Mujtahid, Penerjemah; M.A. Abdurrahman, (Semarang:
Asy-Syifa’, 1990)
Ø Halim,
M.Nipan Abdul. Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2002)
Ø Hasan,
M. Ali. Pedoman Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006)
Ø Al-Zuhaili,
Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Suriah : Dar al-Fikr bi
Damsyiq, 2002)
Ø Al-Maraghi,
Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi. Juz IV (Semarang:PT. Karya Toha
Putra,1993)